Habib Husein bin Abubakar al-Aydrus, Luar Batang, Jakarta
Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Attas, Pekalongan
Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas, Empang, Bogor
Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Surabaya
Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, Bondowoso
Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Gresik
Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang, Jakarta
Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir al-Haddad, Bogor
Habib Husein bin Muhammad bin Thohir al-Haddad, Jombang
Habib Jakfar bin Syaikhan Assegaf, Pasuruan
Habib Ali bin Husein al-Attas, Jakarta
Habib Idrus bin Salim al-Jufri, Sulawesi Tengah
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih, Darul Hadis, Malang
Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus, Surabaya
Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, Jakarta
Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid, Tanggul, Jember
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, Mekah, Saudi Arabia
Kisah-Kisah Habaib di Indonesia
Rabu, 01 Agustus 2012
KISAH > Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan
Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan: Muda dalam Usia, Diakui dalam Reputasi
Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.
Wajah dai yang satu ini tentu sudah banyak dikenal kalangan habaib dan muhibbin yang ada di Indonesia. Usianya masih relatif muda, 31 tahun, namun reputasinya sebagai ulama dan muballig sudah diakui kaum muslimin. Tidak saja di Jakarta, tapi juga di banyak majelis haul dan Maulid yang digelar di berbagai tempat – seperti Gresik, Surabaya, Solo, Pekalongan, Tegal, Semarang, Bandung, Palembang, Pontianak dan Kalimantan. Hampir semua daerah di negeri ini sudah dirambahnya.
Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.
Wajah ulama muda yang shalih ini tampak bersih. Tutur katanya halus, dengan gaya berceramahnya yang enak didengar dan mengalir penuh untaian kalam salaf serta kata-kata mutiara yang menyejukkan para pendengarnya. Seperti kebanyakan habib, dia pun memelihara jenggot, dibiarkannya terjurai.
Habib Jindan, putra Habib Novel bin Salim bin Jindan Bin Syekh Abubakar, adalah salah seorang ulama yang terkenal di Jakarta. Ia juga dikenal sebagai penerjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal. “Ketika dia menerjemahkan taushiyah gurunya, Habib Umar bin Hafidz, makna dan substansinya hampir sama persis dengan bahasa aslinya. Bahkan waktunya pun hampir sama dengan waktu yang digunakan oleh Habib Umar,” tutur Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf di Jakarta.
Berkah Ulama dan Habaib
Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan lahir di Sukabumi, pada hari Rabu 10 Muharram 1398 atau 21 Desember 1977. Sejak kecil ia selalu berada di lingkungan majelis ta’lim, yang sarat dengan pendidikan ilmu-ilmu agama. “Waktu kecil saya sering diajak ke berbagai majelis ta’lim di Jakarta oleh abah saya, Habib Novel bin Salim bin Jindan. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa ulama dan habaib yang termasyhur,” kenang bapak lima anak (empat putra, satu putri) ini kepada alKisah. Ayahandanya memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur. Pengalaman masa kecil itu pula yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama.
Ketika ia berumur dua tahun, keluarganya tinggal di Pasar Minggu, bersebelahan dengan rumah keluarga Habib Salim bin Toha Al-Haddad. Pada umur lima tahun, ia dititipkan untuk tinggal di rumah Habib Muhammad bin Husein Ba’bud dan putranya, Habib Ali bin Muhammad bin Husein Ba’abud, di Kompleks Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien (Lawang, Malang). “Di Lawang, sehari-hari saya tidur di kamar Habib Muhammad Ba’bud. Selama di sana, dibilang mengaji, tidak juga. Namun berkah dari tempat itu selama setahun saya tinggal, masih terasa sampai sekarang,” ujarnya dengan senyum khasnya.
Menginjak umur enam tahun, ia ikut orangtuanya pindah ke Senen Bungur. Ia mengawali belajar di SD Islam Meranti, Kalibaru Timur (Bungur, Jakarta Pusat). Ia juga belajar diniyah pada sebuah madrasah yang diasuh oleh Ustadzah Nur Baiti.
Kemudian dia melanjutkan ke tingkat tsanawiyah di Madrasah Jami’atul Kheir, Jakarta, hingga tingkat aliyah, tapi tidak tamat. Selama di Jami’at Kheir, banyak guru yang mendidiknya, seperti Habib Rizieq Shihab, Habib Ali bin Ahmad Assegaf, K.H. Sabillar Rosyad, K.H. Fachrurazi Ibrahim, Ustadz Syaikhon Al-Gadri, Ustadz Fuad bin Syaikhon Al-Gadri, dan lain-lain.
Sejak muda, sepulang sekolah ia selalu belajar pada habaib dan ulama di Jakarta, seperti di Madrasah Tsaqafah Islamiyah, yang diasuh Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan putranya, Ustadz Abu Bakar Assegaf. Habib Jindan juga pernah belajar bahasa Arab di Kwitang (Senen, Jakarta Pusat) di tempat Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi, dengan ustadz-ustadz setempat.
Selain itu pada sorenya ia sering mengikuti rauhah yang digelar oleh Majelis Ta’lim Habib Muhammad Al-Habsyi. Di majelis itu, banyak habib dan ulama yang menyampaikan pelajaran-pelajaran agama, seperti Habib Abdullah Syami’ Alattas, Habib Muhammad Al-Habsyi, Ustadz Hadi Assegaf, Habib Muhammad Mulachela, Ustadz Hadi Jawwas, dan lain-lain.
Beruntung, karena sering berada di lingkungan Kwitang, ia banyak berjumpa para ulama dari mancanegara, seperti Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Habib Ja’far Al-Mukhdor, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, dan masih banyak lainnya.
Pada setiap Ahad pagi, ia hadir di Kwitang bersama abahnya, Habib Novel, yang juga selalu didaulat berceramah. Sekitar 1993, ia bertemu pertama kali dengan Habib Umar Hafidz di Majlis Ta’lim Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang) saat pengajian Ahad pagi. Pertemuan kedua terjadi saat Habib Umar bin Salim Al-Hafidz berkunjung ke Jami’at Kheir. Saat itu yang mengantar rombongan Habib Umar adalah Habib Umar Mulachela dan Ustadz Hadi Assegaf.
Uniknya, satu-satunya kelas yang dimasuki Habib Umar adalah kelasnya, padahal di Jami’at Kheir saat itu ada belasan kelas. Begitu masuk kelas, Ustadz Hadi Assegaf dari depan kelas memperkenalkannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz. Saat itu, Ustadz Hadi menunjuknya sambil mengatakan kepada Habib Umar bahwa dirinya juga bermarga Bin Syekh Abu Bakar bin Salim, sama klannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz.
Saat itulah Habib Umar tersenyum sambil memandang Habib Jindan. Itulah perkenalan pertama Habib Jindan dengan Habib Umar Al-Hafidz di ruang kelasnya, yang masih terkenang sampai sekarang.
Sejak saat itu hatinya tergerak untuk belajar ke Hadhramaut. Pernah suatu ketika ia akan berangkat ke Hadhramaut, tapi sayang sang pembawa, Habib Bagir bin Muhammad bin Salim Alattas (Kebon Nanas), meninggal. Pernah juga ia akan berangkat dengan salah satu saudaranya, tapi saudaranya itu sakit. Hingga akhirnya tiba-tiba Habib Abdul Qadir Al-Haddad (Al-Hawi, Condet) datang ke rumahnya mengabarkan bahwa Habib Umar bin Hafidz menerimanya sebagai santri.
Sumber Inspirasi
Lalu ia berangkat bersama rombongan pertama dari Indonesia yang jumlahnya 30 orang santri. Di antaranya Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa, Habib Qureisy Baharun, Habib Shodiq bin Hasan Baharun, Habib Abdullah bin Hasan Al-Haddad, Habib Jafar bin Bagir Alattas, dan lain-lain. Ia kemudian belajar agama kepada Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadhramaut. “Ketika itu Habib Umar belum mendirikan Pesantren Darul Musthafa. Yang ada hanya Ribath Tarim. Kami tinggal di rumah Habib Umar,” tuturnya.
Baru dua minggu di Hadhramaut, pecah perang saudara di Yaman. Memang, situasi perang tidak terasa di lingkungan pondok. Ada perang atau tidak, Habib Umar tetap mengajar murid-muridnya. Namun dampak perang saudara ini dirasakan seluruh penduduk Yaman. Listrik mati, gas minim, bahan makanan langka. “Terpaksa kami masak dengan kayu bakar,” katanya.
Baginya, Habib Umar bin Hafidz bukan sekadar guru, tapi juga sumber inspirasi. “Saya sangat mengagumi semangatnya dalam berdakwah dan mengajar. Dalam situasi apa pun, beliau selalu menekankan pentingnya berdakwah dan mengajar. Bahkan dalam situasi perang pun, tetap mengajar. Beliau memang tak kenal lelah.”
Saat itu Darul Musthafa belum mantap seperti sekarang, situasinya serba terbatas. Walaupun begitu, sangat mengesankan baginya. Dahulu para santri tinggal di sebuah kontrakan yang sederhana di belakang kediaman Habib Umar. Sedangkan pelajaran ta’lim, selain diasuh sendiri oleh Habib Umar, para santri juga belajar di berbagai majelis ta’lim yang biasa digelar di Tarim, seperti di Rubath Tarim, Baitul Faqih, Madrasah Syeikh Ali, mengaji kitab Bukhari di Masjid Ba’alwi, ta’lim di Zawiyah Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Al-Hawi, Hadhramaut), belajar kitab Ihya di Zanbal di Gubah Habib Abdullah bin Abubakar Alaydrus, Zawiyah Mufti Tarim, diasuh Syaikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal, dan lain-lain.
Selama mengaji dengan Habib Umar, ia sangat terkesan. “Beliau dalam mengajar tidak pernah marah. Saya tidak pernah mendengar beliau mengomel atau memaki-maki kami. Kalau ada yang salah, ditegurnya baik-baik dan dikasih tahu. Selain itu, Habib Umar juga terkenal sangat istiqamah dalam hal apa pun.”
Habib Jindan mengaku sangat beruntung bisa belajar dengan seorang alim dan orator ulung seperti Habib Umar. Memang Habib Umar mendidik santri-santrinya bisa berdakwah. Para santri mendapat pendidikan khusus untuk memberikan taushiyah dalam bahasa Arab tiap sehabis shalat Subuh, masing-masing dua orang, walaupun hanya sekitar lima sampai sepuluh menit. Latihan kultum itu juga menjadi ajang saling memberikan masukan antarsantri.
Setelah satu tahun menjadi santri, ada program dakwah tiga hari sampai seminggu bagi yang mau dakwah berkeliling. Bahkan dirinya sudah mengajar untuk santri-santri senior pada akhir-akhir masa pendidikan.
Setelah selama kurang lebih empat tahun, tahun 1998, ia pulang ke Indonsia bersama rombongan Habib Umar yang mengantar sekaligus santri-santri asal Indoensia dan berkunjung ke rumah beberapa muridnya. Angkatan pertama ini hampir seluruhnya dari Indonesia, hanya dua-tiga orang yang santri setempat. Untuk itulah, ia pulang seminggu terlebih dahulu, untuk mempersiapkan acara dan program kunjungan Habib Umar di Indonesia.
Saat pertama kali pulang, ia, oleh sang abah, diperintahkan untuk berziarah ke para habib sepuh yang ada di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya. Ayahandanya, Habib Novel, Habib Hadi bin Ahmad Assegaf, dan Habib Anis Al-Habsyi mendorongnya untuk berdakwah.
Masukan, didikan, dan motivasi sang abah ia rasakan hingga sekarang. “Ikhlaslah dalam berdakwah. Apa yang keluar dari hati akan sampai ke hati,” kata Habib Jindan menirukan abahnya. Habib Novel (alm.) memang dikenal sebagai orator ulung sebagaimana abahnya, Habib Salim bin Jindan. Wajarlah bila Habib Novel ingin putra-putranya menjadi dai-dai yang tangguh.
“Kalau ceramah, jangan terlalu panjang. Selagi orang sedang asyik, kamu berhenti. Jangan kalau orang sudah bosan, baru berhenti, nanti banyak audiens kapok mendengarnya. Lihat situasi dan keadaannya, sesuaikan dengan materi ceramahnya dan waktu ceramahnya. Lihat, kalau di situ ada beberapa penceramah, kamu harus batasi waktu berceramah dan bagi-bagi waktunya dengan yang lain.” Sampai masalah akhlaq dan sopan santun, semua orang diajarkan. AST
SEKILAS SEJARAH MASJID LUAR BATANG
SEKILAS
SEJARAH MASJID LUAR BATANG
Masjid Luar Batang termasuk masjid
terkenal di Batavia karena keramat Sayid Husein bin Abubakar Alaydrus
(w. 1756). Keramat ini banyak peziarah. Pada peta-peta abad ke-19 terkadang
tertulis Heilig graf, artinya "makam keramat"di tempat
Masjid Luar Batang sekarang. Masjid ini terletak disebelah utara tembok kota
lama, di daerah yang sesudah pertengahan abad ke-17 diuruk dan baru boleh
dihuni oleh orang Jawa dari Cirebon sejak 1730. Mereka bertugas membersihkan
mulut kali Ciliwung dari lumpur, Supaya kapal bisa sampai ke Pasar Ikan yang
letaknya tidak jauh dari masjid ini.
Daerah Luar Batang artinya daerah di
luar batang besar (groote boom) yang menutup pelabuhan pada malam hari,
merupakan tanah endapan dan ukuran yang semakin menjorok keutara. Pada
peta-peta Batavia lama. daerah disebelah utara tembok kota dan kali yang
menghubungkan kali besar dan Muara Baru, terbentuk perlahan-lahan antara taun 1650
dan 1700. Sejak awal tahun 1730-an daerah ini sangat tidak sehat, karena nyamuk
yang berkembang biak dalam tambak ikan di pantai utara, menyebarkan malaria.*
Sejarah Masjid Luar Batang belum
dapat disusun dengan jelas karena sumber-sumber historis yang tersedia
bertentangan dengan pandangan umum sekarang ini, dan kurang lengkap. Berita
tertua berasal dari seorang turis Tionghoa, yang menulis bahwa pada tahun 1736
ia meninggalkan Batavia dari sheng mu gang, artinya 'pelabuhan makam
keramat', yaitu dari pelabuhan Sunda Kelapa sekarang, makapada tahun 1736 sudah
terdapat suatu makam yang dianggap keramat di daerah pelabuhan Batavia, walupun
Habib Hussein belum meninggal dunia. Itu keramat siapa ?**
Pada tahun 1916 telah dicatat diatas
pintu masjid, bahwa gedung ini selesai dibangun pada 20Muharam 1152 H yang sama
dengan 29 April 1739*** Qiblat masjid ini kurang tepat dan ditentukan lebih
persis oleh Muh. Arshad al-Banjari (w. 1812) waktu singgah perjalanan pulang
dari Hejaz ke Banjar pada tahun 1827. Masjid ini kurang berkiblat, sama seperti
Masjid Kebon Sirih dan Cikini. Oleh karena itu, ada penulis (mis. Abubakar
Atjeh) yang beanggapan, bahwa semula ruang masjid ini adalah bekas rumah
kediaman orang, yang kemudian digunakan sebagai mushola atau masjid.
Pada sebuah batu dalam Masjid Luar
Batang ditulis, bahwa 'al Habib Husein bin Abubakar Bin Abdillah al-Alaydrus
yang telah wafat pada hari kamis 27 Puasa 1169 berkebetulan 24 Juni 1756. Batu
ini dibuat antara tahun 1886 dan 1916. sebab, L.W.C, Van Berg dalam buku yang
termasyur tentang orang Hadhramaut, menyebut, bahwa Habib Husein baru wafat
1798 (!). sedangkan Ronkel sudah menyebut batu peringatan tersebut dalam
karangannya yang diterbitkan pada tahun 1916.*
Koran Bataviaasche Caurant, tanggal
12 Mei 1827, memuat suatu karangan tentang Masjid Luar Batang. Dicatat dalam
tulisan ini, bahwa Habib Husein meninggal pada tahun 1796, setelah lama
berkhotbah diantara surabaya dan Batavia. Pada tahun 1812 makamnya dikijing
dengan batu dan masih terletak di luar gedung masjid sampai tahun 1827. Pada
waktu ini rupanya derma tidak lagi diterima oleh komandan(semacam lurah) daerah
Luar Batang, tetapi dinikmati oleh(pengurus) masjid** sehingga gedung bisa
diperluas.
Di lain pihak suatu masjid (!) bukan
surau telah dicatat pada peta yang dibuat C.F.Reimer pada tahun 1788.
dengan merangkumkan segala data yang
tersedia, dapat dikatan bahwa suatu makam yang dianggap keramat sudah terdapat
di Luar Batang pada tahun 1736 Mushola atau masjid didirikan 1739, Habib Husein
tinggal diadaerah itu dan meninggal tidak sebelum 1756 (mungkin baru pada tahun
1796 atau 1798), makam keramat Habib Huseinlah yang menarik banyak peziarah,
sehingga Masjid Luar Batang menjadi Masjid terkenal di Batavia lama. Walaupun
data-data ini (agak) pasti, masih timbul beberapa pertanyyan yang mengyangkut
sejarah masjid ini. Sebelum diusahakan suatu jawaban, maka disajikan beberapa
kutipan dari pengarang lain.
Dan Masjid ini banyak dikunjungi oleh
para pejabat-pejabat Negara baik kalangan dalam negeri mapun Luar negeri,
Masjid ini sekarang in sudah banyak direnovasi dan penanggung jawab langsung
adalah Bapak Gubenur DKI Jakarta ( Bpk. Fauzi Bowo).
Kisah Habib Ali kwitang
Masa Kecil
Ia dilahirkan di daerah Kwitang, Jakarta (lahir di
Jakarta, Jakarta, 20 April 1870 – meninggal di Jakarta, 13 Oktober 1968 pada
umur 98 tahun) bertepatan dengan tanggal hijriah 20 Jumadil Awwal 1286 H dari
pasangan Abdurrahman bin Abdullah Alhabsyi dan Salmah. Ayahnya adalah seorang
ulama dan da'i keturunan arab sayyid yang hidup zuhud, sementara ibunya adalah
seorang wanita sholehah puteri seorang ulama Betawi dari Kampung Melayu,
Jatinegara, Jakarta Timur.[rujukan?]. Ayahnya meninggal dunia saat Ali dalam
usia kecil.
Ketika usianya mencapai sekitar 11 tahun, ia
berangkat ke Hadramaut untuk belajar agama. Tempat pertama yang ditujunya ialah
ke rubath Habib ‘Abdur Rahman bin ‘Alwi al-’Aydrus. Di sana beliau menekuni
belajar dengan para ulamanya, antara yang menjadi gurunya ialah Shohibul Maulid
Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi, Habib Hasan bin Ahmad al-’Aydrus, Habib Zain
bin ‘Alwi Ba’Abud, Habib Ahmad bin Hasan al-’Aththas dan Syaikh Hasan bin
‘Awadh. Beliau juga berkesempatan ke al-Haramain dan meneguk ilmu daripada
ulama di sana, antara gurunya di sana adalah Habib Muhammad bin Husain
al-Habsyi (Mufti Makkah), Sayyid Abu Bakar al-Bakri Syatha ad-Dimyati,
(pengarang I’aanathuth Thoolibiin yang masyhur) Syaikh Muhammad Said Babsail,
Syaikh ‘Umar Hamda.
Masa Muda dan Tua
Habib Ali
menunaikan haji 3 kali. Pertama tahun 1311 H/1894 M pada masa Syarif Aun, kedua
tahun 1343 H/1925 M pada masa Syarif Husein, dan ketiga tahun 1354 H/1936 M
pada masa Ibnu Saud dan pergi ke Madinah 2 kali.
Ia mulai
melaksanakan maulid akhir Kamis bulan Rabiul Awwal setelah wafatnya Habib
Muhammad bin Idrus Al-Habsyi sejak tahun 1338 H/1920 M sampai 1355 H/1937 M di
madrasah Jamiat Kheir.
Dalam rangka memantapkan tugas dakwahnya, Habib Ali membangun Masjid ar-Riyadh tahun 1940-an di Kwitang serta di samping masjid tersebut didirikannya sebuah madrasah yang diberi nama Madrasah Unwanul Falah. Tanah yang digunakan untuk membangun masjid tersebut merupakan wakaf yang sebagian diberikan oleh seorang betawi bernama Haji Jaelani (Mad Jaelani) asal Kwitang[1]. Banyak ulama betawi atau Jakarta yang pernah menjadi muridnya atau pernah belajar di madrasah yang didirikannya. Di antara muridnya yang terkenal adalah K.H. ‘Abdullah Syafi’i (pendiri majlis taklim Assyafi'iyah, K.H. Thahir Rohili (pendiri majlis taklim Atthohiriyah dan K.H. Fathullah Harun (ayah dari Dr. Musa Fathullah Harun, seorang bekas pensyarah UKM).
Dalam rangka memantapkan tugas dakwahnya, Habib Ali membangun Masjid ar-Riyadh tahun 1940-an di Kwitang serta di samping masjid tersebut didirikannya sebuah madrasah yang diberi nama Madrasah Unwanul Falah. Tanah yang digunakan untuk membangun masjid tersebut merupakan wakaf yang sebagian diberikan oleh seorang betawi bernama Haji Jaelani (Mad Jaelani) asal Kwitang[1]. Banyak ulama betawi atau Jakarta yang pernah menjadi muridnya atau pernah belajar di madrasah yang didirikannya. Di antara muridnya yang terkenal adalah K.H. ‘Abdullah Syafi’i (pendiri majlis taklim Assyafi'iyah, K.H. Thahir Rohili (pendiri majlis taklim Atthohiriyah dan K.H. Fathullah Harun (ayah dari Dr. Musa Fathullah Harun, seorang bekas pensyarah UKM).
Saat meninggalnya
Habib Ali, stasiun penyiaran TV satu-satunya Indonesia saat itu, TVRI,
menyiarkan berita wafatnya.[2] Habib Salim bin Jindan membaiat putera Habib Ali
yang bernama Muhammad untuk meneruskan perjuangan keagamaan yang dilakukan
ayahnya.
Putera sulungnya
yang bernama Abdurrahman mengawini seorang wanita keturunan belanda bernama
Maria Van Engels[3] yang lalu masuk islam dan mengubah namanya menjadi mariam.
Karier dan Dakwah
Pengajian Habib Ali
Kwitang di zaman Jepang.
Selain menuntut
ilmu, Ia juga aktif dalam mengembangkan dakwah Islamiyyah, mengajak umat Islam
untuk mengikuti ajaran-ajaran Islam dengan dasar cinta kepada Allah dan
Muhammad SAW. Selain di pengajian tetap di Majlis Taklim Kwitang yang diadakan
setiap hari Minggu pagi sejak kurang lebih 70 tahun yang lalu hingga sekarang
dengan kunjungan umat Islam yang berpuluh-puluh ribu, ia juga aktif menjalankan
dakwah di lain-lain tempat di seluruh Indonesia. Bahkan hingga ke
desa-desa yang terpencil di lereng-lereng gunung.
Selain itu Habib Ali juga berdakwah ke Singapura,
Malaysia, India, Pakistan, Srilangka dan Mesir. Selain itu beliau juga sempat
menulis beberapa kitab, di antaranya Al-Azhar Al-Wardiyyah fi As-Shuurah
An-Nabawiyyah dan Ad-Durar fi As-Shalawat ala Khair Al-Bariyyah [4]Menurut
Muhammad Asad, penulis lebih dari 20 buku yang terbit di Timur Tengah yang
puluhan tahun mengenal Habib Ali, menilai, bahwa majelis taklimnya dapat
bertahan selama lebih dari satu abad karena inti ajaran Islam yang
disuguhkannya berlandaskan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, serta
akhlakul karimah. Ia juga menjelaskan bahwa ajaran dakwah Habib Alwi berupa
pelatihan kebersihan jiwa, tasauf mu’tabarah dan dialog antara makhluk dengan
al-Khalik serta antara sesama mahluk. Habib Ali tidak pernah menglajarkan
ideologi kebencian, iri, dengki, ghibah, fitnah dan namimah. Sebaliknya, Habib
Ali mengembangkan tradisi kakek-kakeknya dari keluarga ahlul bait yang intinya
menjunjung tinggi nilai kemanusian, menghormati hak-hak setiap manusia tanpa
membedakan manusia atas latarbelakang status sosial mereka.[5]
Karomah dan Kekeramatan Habib Abdullah
Selama di penjara ke keramatan Habib Abdullah Bin Mukhsin semakin
tampak sehingga semakin banyak orang yang datang berkunjung kerpenjaraan
tersebut. Tentu saja hal itu mengherankan para pembesar penjara dan
penjaganya. Sampai mereka pun ikut mendapatkan berkah dan manfaat dari
kebesaran Habib Abdullah dipenjara,
Setiap permohonan dan hajat yang pengunjung sampaikan kepada Habib Abdullah Bin Mukhsin selalu dikabulkan Allah SWT, para penjaga merasa kewalahan menghadapi para pengunjung yang mendatangi beliau Mereka lalu mengusulkan kepada kepala penjara agar segera membebaskan beliau. Namun, ketika usulan dirawarkan kepada Habib Abdullah beliau menolak dan lebih suka menungu sampai selesainya masa hukuman.
Pada suatu malam pintu penjara tiba–tiba terbuka dan datanglah kepada beliau kakek beliau Al Habib Umar Bin Abdurrohman Al Athas seraya berkata, Jika kau ingin keluar dari penjara keluarlah sekarang, tetapi jika engkau mau bersabar maka bersabarlah.
Beliau ternyata memilih untuk bersabar dalam penjara, pada malam itu juga Sayyidina Al Faqih Al Muqodam dan Syeh Abdul Qodir Zaelani serta beberapa tokoh wali mendatangi beliau. Pada kesempatan itu Sayyidina Al Faqih Al Muqodam memberikan sebuah kopiah. Ternyata dipagi harinya Kopiah tersebut masih tetap berada di kepala Al Habib Abdullah Padahal, beliau bertemu dengan Al Faqih Al Muqodam didalam impian.
Para pengujung terus berdatangan kepenjara sehingga berubahlah penjaraan itu menjadi rumah yang selalu dituju, Beliau pun mendapatkan berbagai kekeratan yang luar biasa mengingatkan kembali hal yang dimiliki para salaf yang besar seperti Assukran dan syeh Umar Muhdor
Diantara Karomah yang beliau peroleh adalah sebagaimana yang disebutkan Al Habib Muhammad Bin Idrus Al Habsyi bahwa Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas ketika mendapatkan anugrah dari Allah SWT, beliau tenggelam penuh dengan kebesaran Allah, hilang dengan segala hubungan alam dunia dan sergala isinya. Al Habib Muhammad Idrus Al Habsyi juga menuturkan, ketika aku mengujunginya Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athos dalam penjara aku lihat penampilannya amat berwibawa dan beliau terlihat dilapisi oleh pancaran Illahi. Sewaktu beliau melihat aku beliau mengucapkan bait –bait syair Habib Abdullah Al Hadad yang awal baitnya adalah sbb “ Wahaii yang mengunjungi Aku di malam yang dingin, ketika tak ada lagi orang yang akan menebarkan berita fitrah, Selanjutnya, kata Habib Muhammad Idrus, kami selagi berpelukan dan menangis, “
Karomah lainnya setiap kali beliau memandang borgol yang membelegu kakinya, maka terlepaslah borgol itu.
Disebutkan juga bahwa ketika pimpinan penjara menyuruh bawahannya untuk mengikat keher Habib Abdullah Bin Mukhsin maka dengan rante besi maka atas izin Allah rantai itu terlepas, dan pemimpin penjara beserta keluarga dan kerabatnya mendapat sakit panas, dokter tak mampu mengobati penyakit pemimpin penjara dan keluarganya itu, barulah kemudian pemimpin penjara sadar bahwa ;penyakitnya dan penyakit keluarganya itu diakibatkan Karena dia telah menyakiti Al Habib yang sedang dipenjara.
Kemudian, kepala penjara pengutus bawahannya untuk mendo’akan, penyakit yang di derita oleh kepala penjara dan keluarganya itu agar sembuh Maka, berkatalah Habib Abdullah kepada utusan itu Ambillah borgol dan rante ini ikatkan di kaki dan leher pemimpin penjara itu, maka akan sembuhlah dia.
Kemudian dikerjakanlah apa yang dikatakan oleh Habib Abdullah, maka dengan izin Allah SWT penyakit pimpinan penjara dan keluarganya seketika sembuh. Kejadian ini penyebabkan pimpinan penjara makin yakin akan kekeramatan Habib Abdullah Mukhsin Al Athas. Sekeluarnya dari penjara beliau tinggal di Jakarta selama beberapa tahun.
Perjalanan ke Empang
Dari sumber lain disebutkan, bahwa awal mula kedatangan Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas ke Indonesia, pada tahun 1800 Masehi, waktu itu beliau diperintahkan oleh Al Habibul Imam Abdullah bin Abu Bakar Alayidrus, untuk menuju Kota Mekah. Dan sesampainya di Kota Mekah, beliau melaksanakan sholat dan pada malam harinya beliau mimpi bertemu dengan Rasullah SAW, entah apa yang dimimpikannya, yang jelas ke esok harinya beliau berangkat menuju Negeri Indonesia.
Sesampainya di Indonesia, beliau dipertemukan dengan Al Habib Ahmad Bin Hamzah Al Athas yang da dipakojan Jakarta dan beliau belajar ilmu agama darinya, lalu Habib Ahmad Bin Hamzah Al Athas memerintahkan agar beliau datang berziarah ke Habib Husen di luar Batang, dari sana sampailah perjalanan beliau ke Bogor
Beliau datang ke Empang dengan tidak membawa apa-apa,
Pada saat belau datang ke Empang Bogor, disana disebutkan bahwa Empang yang pada saat itu belum ada penghuninya, namun dengan Ilmu beliau bisa menyala dan menjadi terang benderang Diceritakan, ada kekeramatan yang lain terjadi pula ketika beliau tengah makan dipinggiran empang, kebetulan pada saat itu datang kepada beliau seorang penduduk Bogor dan berkata “ Habib, kalau anda benar-benar seorang Habib Keramat, tunjukanlah kepada saya akan kekeramatannya..
Pada saat itu kebetulan Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas tengah makan dengan seekor ikan dan ikan itu tinggall separuh lagi. Maka Habib Abdukkah berkata” Yaa sama Anjul ilaman Tabis,” ( wahai ikan kalau benar-benar cinta kepadaku tunjukanlah) maka atas izin Allah SWT, seketika itu juga ikan yang tinggal sebelah lagi meloncat ke empang. Konon ikan sebelah tersebut sampai sekarang masih hidup dilaut.
Masjid Keramat Empang didirikan sekitar tahun 1828 M. pendirian Masjid ini dilakukan bersama para Habaib dan ulama-ulama besar di Indonesia. Di Sekitar Areal Masjid Keramat terdapat peninggalan rumah kediaman Habib Abdullah, yang kini rumah itu ditempati oleh Khalifah Masjid, Habib Abdullah Bin Zen Al Athas. Didalam rumah tersebut terdapat kamar khusus yang tidak bisa sembarang orang memasukinya, karena kamar itu merupakan tempat khalwat dan zikir beliau. Bahkan disana terdapat peninggalan beliau seperti tempat tidur, tongkat , gamis dan sorbannya yang sampai sekarang masih disimpan utuh.
Kitab-kitab beliau kurang lebih ada 850 kitab, namun yang ada sekarang tinggal 100 kitab, sisanya disimpan di “Jamaturkhair atau di Rabitoh”. Tanah Abang Jakarta. Salah satu kitab karangan beliau yang terkenal adalah “Faturrabaniah” konon kitab itu hanya beredar dikalangan para ulama besar,
Adapun karangannya yang lain adalah kitab “Ratibul Ahtas dan Ratibul Hadad.” Kedua kitab itu merupakan pelajaran rutin yang diajarkan setiap magrib oleh beliau kepada murid-muridnya dimasa beliau masih hidup, bahkan kepada anak dan cucunya, Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas menganjurkan supaya tetap dibacanya.
Habib Abdullah Bin Al Athas, adalah seorang Waliyullah dengan kiprahnya menyebarkan Agama Islam dari satu negeri kenegeri lain. Di Kampung Empang beliau menikahi seorang wanita keturanan dalem Sholawat. Dari sanalah beliau mendapatkan wakaf tanah yang cukup luas, sampai sekarang 85 bangunan yang terdapat di kampung Empang didalam sertifikatnya atas nama Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas.
Semasa hidupnya sampai menjelang akhir hayatnya beliau selalu membaca Sholawat Nabi yang setiap harinya dilakukan secara dawam di baca sebanyak seribu kali, dengan kitab Sholawat yang dikenal yaitu “ Dala’l Khoirot” artinya kebaikan yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Menurut Manakib, beliau dipanggil Allah SWT pada hari Selasa, 29 Zulhijjah 1351 Hijriah diawal waktu zuhur Jenazah beliau dimakamkan keesokan harinya hari Rabu setelah Sholat zuhur. Tak terhitung jumlah orang yang ikut mesholatkan jenazah. Beliau dimakamkan di bagian Barat Masjid An nur Empang,sebelum wafat beliau terserang sakit flu ringan.
Setiap permohonan dan hajat yang pengunjung sampaikan kepada Habib Abdullah Bin Mukhsin selalu dikabulkan Allah SWT, para penjaga merasa kewalahan menghadapi para pengunjung yang mendatangi beliau Mereka lalu mengusulkan kepada kepala penjara agar segera membebaskan beliau. Namun, ketika usulan dirawarkan kepada Habib Abdullah beliau menolak dan lebih suka menungu sampai selesainya masa hukuman.
Pada suatu malam pintu penjara tiba–tiba terbuka dan datanglah kepada beliau kakek beliau Al Habib Umar Bin Abdurrohman Al Athas seraya berkata, Jika kau ingin keluar dari penjara keluarlah sekarang, tetapi jika engkau mau bersabar maka bersabarlah.
Beliau ternyata memilih untuk bersabar dalam penjara, pada malam itu juga Sayyidina Al Faqih Al Muqodam dan Syeh Abdul Qodir Zaelani serta beberapa tokoh wali mendatangi beliau. Pada kesempatan itu Sayyidina Al Faqih Al Muqodam memberikan sebuah kopiah. Ternyata dipagi harinya Kopiah tersebut masih tetap berada di kepala Al Habib Abdullah Padahal, beliau bertemu dengan Al Faqih Al Muqodam didalam impian.
Para pengujung terus berdatangan kepenjara sehingga berubahlah penjaraan itu menjadi rumah yang selalu dituju, Beliau pun mendapatkan berbagai kekeratan yang luar biasa mengingatkan kembali hal yang dimiliki para salaf yang besar seperti Assukran dan syeh Umar Muhdor
Diantara Karomah yang beliau peroleh adalah sebagaimana yang disebutkan Al Habib Muhammad Bin Idrus Al Habsyi bahwa Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas ketika mendapatkan anugrah dari Allah SWT, beliau tenggelam penuh dengan kebesaran Allah, hilang dengan segala hubungan alam dunia dan sergala isinya. Al Habib Muhammad Idrus Al Habsyi juga menuturkan, ketika aku mengujunginya Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athos dalam penjara aku lihat penampilannya amat berwibawa dan beliau terlihat dilapisi oleh pancaran Illahi. Sewaktu beliau melihat aku beliau mengucapkan bait –bait syair Habib Abdullah Al Hadad yang awal baitnya adalah sbb “ Wahaii yang mengunjungi Aku di malam yang dingin, ketika tak ada lagi orang yang akan menebarkan berita fitrah, Selanjutnya, kata Habib Muhammad Idrus, kami selagi berpelukan dan menangis, “
Karomah lainnya setiap kali beliau memandang borgol yang membelegu kakinya, maka terlepaslah borgol itu.
Disebutkan juga bahwa ketika pimpinan penjara menyuruh bawahannya untuk mengikat keher Habib Abdullah Bin Mukhsin maka dengan rante besi maka atas izin Allah rantai itu terlepas, dan pemimpin penjara beserta keluarga dan kerabatnya mendapat sakit panas, dokter tak mampu mengobati penyakit pemimpin penjara dan keluarganya itu, barulah kemudian pemimpin penjara sadar bahwa ;penyakitnya dan penyakit keluarganya itu diakibatkan Karena dia telah menyakiti Al Habib yang sedang dipenjara.
Kemudian, kepala penjara pengutus bawahannya untuk mendo’akan, penyakit yang di derita oleh kepala penjara dan keluarganya itu agar sembuh Maka, berkatalah Habib Abdullah kepada utusan itu Ambillah borgol dan rante ini ikatkan di kaki dan leher pemimpin penjara itu, maka akan sembuhlah dia.
Kemudian dikerjakanlah apa yang dikatakan oleh Habib Abdullah, maka dengan izin Allah SWT penyakit pimpinan penjara dan keluarganya seketika sembuh. Kejadian ini penyebabkan pimpinan penjara makin yakin akan kekeramatan Habib Abdullah Mukhsin Al Athas. Sekeluarnya dari penjara beliau tinggal di Jakarta selama beberapa tahun.
Perjalanan ke Empang
Dari sumber lain disebutkan, bahwa awal mula kedatangan Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas ke Indonesia, pada tahun 1800 Masehi, waktu itu beliau diperintahkan oleh Al Habibul Imam Abdullah bin Abu Bakar Alayidrus, untuk menuju Kota Mekah. Dan sesampainya di Kota Mekah, beliau melaksanakan sholat dan pada malam harinya beliau mimpi bertemu dengan Rasullah SAW, entah apa yang dimimpikannya, yang jelas ke esok harinya beliau berangkat menuju Negeri Indonesia.
Sesampainya di Indonesia, beliau dipertemukan dengan Al Habib Ahmad Bin Hamzah Al Athas yang da dipakojan Jakarta dan beliau belajar ilmu agama darinya, lalu Habib Ahmad Bin Hamzah Al Athas memerintahkan agar beliau datang berziarah ke Habib Husen di luar Batang, dari sana sampailah perjalanan beliau ke Bogor
Beliau datang ke Empang dengan tidak membawa apa-apa,
Pada saat belau datang ke Empang Bogor, disana disebutkan bahwa Empang yang pada saat itu belum ada penghuninya, namun dengan Ilmu beliau bisa menyala dan menjadi terang benderang Diceritakan, ada kekeramatan yang lain terjadi pula ketika beliau tengah makan dipinggiran empang, kebetulan pada saat itu datang kepada beliau seorang penduduk Bogor dan berkata “ Habib, kalau anda benar-benar seorang Habib Keramat, tunjukanlah kepada saya akan kekeramatannya..
Pada saat itu kebetulan Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas tengah makan dengan seekor ikan dan ikan itu tinggall separuh lagi. Maka Habib Abdukkah berkata” Yaa sama Anjul ilaman Tabis,” ( wahai ikan kalau benar-benar cinta kepadaku tunjukanlah) maka atas izin Allah SWT, seketika itu juga ikan yang tinggal sebelah lagi meloncat ke empang. Konon ikan sebelah tersebut sampai sekarang masih hidup dilaut.
Masjid Keramat Empang didirikan sekitar tahun 1828 M. pendirian Masjid ini dilakukan bersama para Habaib dan ulama-ulama besar di Indonesia. Di Sekitar Areal Masjid Keramat terdapat peninggalan rumah kediaman Habib Abdullah, yang kini rumah itu ditempati oleh Khalifah Masjid, Habib Abdullah Bin Zen Al Athas. Didalam rumah tersebut terdapat kamar khusus yang tidak bisa sembarang orang memasukinya, karena kamar itu merupakan tempat khalwat dan zikir beliau. Bahkan disana terdapat peninggalan beliau seperti tempat tidur, tongkat , gamis dan sorbannya yang sampai sekarang masih disimpan utuh.
Kitab-kitab beliau kurang lebih ada 850 kitab, namun yang ada sekarang tinggal 100 kitab, sisanya disimpan di “Jamaturkhair atau di Rabitoh”. Tanah Abang Jakarta. Salah satu kitab karangan beliau yang terkenal adalah “Faturrabaniah” konon kitab itu hanya beredar dikalangan para ulama besar,
Adapun karangannya yang lain adalah kitab “Ratibul Ahtas dan Ratibul Hadad.” Kedua kitab itu merupakan pelajaran rutin yang diajarkan setiap magrib oleh beliau kepada murid-muridnya dimasa beliau masih hidup, bahkan kepada anak dan cucunya, Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas menganjurkan supaya tetap dibacanya.
Habib Abdullah Bin Al Athas, adalah seorang Waliyullah dengan kiprahnya menyebarkan Agama Islam dari satu negeri kenegeri lain. Di Kampung Empang beliau menikahi seorang wanita keturanan dalem Sholawat. Dari sanalah beliau mendapatkan wakaf tanah yang cukup luas, sampai sekarang 85 bangunan yang terdapat di kampung Empang didalam sertifikatnya atas nama Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas.
Semasa hidupnya sampai menjelang akhir hayatnya beliau selalu membaca Sholawat Nabi yang setiap harinya dilakukan secara dawam di baca sebanyak seribu kali, dengan kitab Sholawat yang dikenal yaitu “ Dala’l Khoirot” artinya kebaikan yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Menurut Manakib, beliau dipanggil Allah SWT pada hari Selasa, 29 Zulhijjah 1351 Hijriah diawal waktu zuhur Jenazah beliau dimakamkan keesokan harinya hari Rabu setelah Sholat zuhur. Tak terhitung jumlah orang yang ikut mesholatkan jenazah. Beliau dimakamkan di bagian Barat Masjid An nur Empang,sebelum wafat beliau terserang sakit flu ringan.
HABIB ABDULLOH BIN MUKHSIN AL ATHOS (EMPANG BOGOR)
Tak jauh dari Kebon Raya Bogor tepatnya kawasan
empang Bogor selatan terdapat maqom waliyulloh yang lokasinya tepat di jalan
lolongok Di Kompleks Masjid An nur itulah, Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al
Athas di makamkan, bersama dengan makam anak-anaknya yaitu Al Habib Mukhsin Bin
Abdullah Al Athas, Al Habib Zen Bin Abdullah Al Athas, Al Habib Husen Bin
Abdullah Al Athas, Al Habib Abu Bakar Bin Abdullah Al Athas, Sarifah Nur Binti
Abdullah Al Athas, makam murid kesayangannya yaitu Al Habib Habib Alwi Bin Muhammad
Bin Tohir dan Maqom seorang ulama besar yang belum lama ini wafat 26 maret 2007
al walid Habib Abdurrohman Bin Ahmad Assegaf (pimpinan pon-pes Al busro citayam
depok).Dalam Manakibnya disebutkan bahwa Al Habib Abduillah Bin Mukhsin Al Athas
adalah seorang “ Waliyullah” yang telah mencapai kedudukan mulia dekat dengan
Allah SWT. Beliau termasuk salah satu Waliyullah yang tiada terhitung
jasa-jasanya dalam sejarah pengembangan Islam dan kaum muslimin di Indonesia.
Beliau seorang ulama “Murobi” dan panutan para ahli tasauf sehingga menjadi
suri tauladan yang baik bagi semua kelompok manusia maupun jin.
habib muhsin bin
abdulloh al athos Al Habib Abdullah Bin Mukhsin. Bin Muhammad.
Bin Abdullah. Bin Muhammad. Bin Mukhsin. Bin Husen. Bin Syeh Al Kutub, Al Habib
Umar Bin Abdurrohman Al Athas adalah seorang tokoh rohani yang dikenal luas
oleh semua kalangan umum maupun khusus. Beliau adalah “Ahli kasaf” dan ahli
Ilmu Agama yang sulit ditandingi keluawasan Ilmunya, jumlah amal ibadahnya,
kemulyaan maupun budi pekertinya.
Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas beliau asli dari Yaman Selatan dilahirkan di desa hawrat
salah satu desa di Al Kasar, Kampung kharaidhoh, “Khadramaut” pada hari Selasa 20 Jumadi Awal 1275 hijriah. Sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan rohani dan perhatian khusus dari Ayahnya. Beliau mepelajari Al Qur’an dimasa kecilnya dari Mu’alim Syeh Umar Bin Faraj Bin Sabah.Dalam Usia 17 tahun beliau sudah hafal Al Qui’an. Kemudian beliau oleh Ayahnya diserahkan kepada ulama terkemuka di masanya. Beliau dapat menimba berbagai cabang ilmu Islam dan Keimanan.
Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas beliau asli dari Yaman Selatan dilahirkan di desa hawrat
salah satu desa di Al Kasar, Kampung kharaidhoh, “Khadramaut” pada hari Selasa 20 Jumadi Awal 1275 hijriah. Sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan rohani dan perhatian khusus dari Ayahnya. Beliau mepelajari Al Qur’an dimasa kecilnya dari Mu’alim Syeh Umar Bin Faraj Bin Sabah.Dalam Usia 17 tahun beliau sudah hafal Al Qui’an. Kemudian beliau oleh Ayahnya diserahkan kepada ulama terkemuka di masanya. Beliau dapat menimba berbagai cabang ilmu Islam dan Keimanan.
Diantara guru–guru beliau, salah satunya adalah
Assyayid Al Habib Al Qutbi Abu Bakar Bin Abdullah Al Athas, dari guru yang satu
itu beliau sempat menimba Ilmu–Ilmu rohani dan tasauf, Beliau mendapatkan do’a
khusus dari Al Habib Abu Bakar Al Athas, sehingga beliau berhasil meraih
derajat kewalian yang patut. Diantaranya guru rohani beliau yang patut
dibanggakan adalah yang mulya Al Habib Sholih Bin Abdullah Al Athas penduduk
Wadi a’mad.
Habib Abdullah pernah membaca Al Fatihah
dihadapan Habib Sholeh dan Habib Sholeh menalkinkan Al Fatihah kepadanya Al
A’rif Billahi Al Habib Ahmad Bin Muhammad Al Habsi. ketika melihat Al Habib
Abdullah Bin Mukhsin yang waktu itu masih kecil beliu berkata sungguh anak
kecil ini kelak akan menjadi orang mulya kedudukannya.
Al Habib Abdullah Bin Mukhsin pernah belajar
Kitab risalah karangan Al Habib Ahmad Bin Zen Al Habsi kepada Al Habib Abdullah
Bin A’lwi Alaydrus sering menemui Imam Al Abror Al Habib Ahmad Bin Muhammad Al
Muhdhor. Selain itu beliau juga sempat mengunjungi beberapa Waliyulllah yang
tingal di hadramaut seperti Al Habib Ahmad Bin Abdullah Al Bari seorang tokoh
sunah dan asar. Dan Syeh Muhammad Bin Abdullah Basudan. Beliau menetap di
kediaman Syeh Muhammad basudan selama beberapa waktu guna memperdalam Agama.
Pada tahun 1282 Hijriah, Habib Abdulllah Bin Mukhsin menunaikan Ibadah haji yang pertama kalinya.
Pada tahun 1282 Hijriah, Habib Abdulllah Bin Mukhsin menunaikan Ibadah haji yang pertama kalinya.
Selama
di tanah suci beliau bertemu dan berdialog dengan ulama–ulama Islam terkemuka.
Kemudian, seusai menjalankan ibadah haji, beliau pulang ke Negrinya dengan
membawa sejumlah keberkahan. Beliau juga mengunjungi Kota Tarim untuk memetik
manfaat dari wali–wali yang terkenal.
Setelah
dirasa cukup maka beliau meninggalkan Kota Tarim dengan membawa sejumlah berkah
yang tidak ternilai harganya. Beliau juga mengunjungi beberapa Desa dan
beberapa Kota di Hadramaut untuk mengunjungi para Wali dan tokoh–tokoh Agama
dan Tasauf baik dari keluarga Al A’lwi maupun dari keluarga lain.Pada tahun
1283 H, Beliau melakukan ibadah haji yang kedua. Sepulangnya dari Ibadah haji,
beliau berkeliling ke berbagai peloksok dunia untuk mencari karunia Allah SWT
dan sumber penghidupan yang merupakan tugas mulya bagi seorang yang berjiwa mulya.
Dengan izin Allah SWT, perjalanan mengantarkan beliau sampai ke Indonesia.
beliau bertemu dengan sejumlah Waliyullah dari keluarga Al Alwi antara lain Al
Habib Ahmad Bin Muhammad Bin Hamzah Al Athas.Sejak pertemuanya dengan Habib
Ahmad beliau mendapatkan Ma’rifat. Dan, Habib Abdullah Bin Mukhsin
diawal kedatangannya ke Jawa memilih Pekalongan sebagai Kota tempat
kediamannya. Guru beliau Habib Ahmad Bin Muhammad Al Athas banyak memberi
perhatian kepada beliau sehinga setiap kalinya gurunya menunjungi Kota
Pekalongan beliau tidak mau bermalam kecuali di rumah Habib Abdullah Bin
Mukhsin Al Athos.Dalam setiap pertemuan Habib Ahmad selalu memberi pengarahan
rohani kepada Habib Abdullah Bin Mukhsin sehingga hubungan antara kedua Habib
itu terjalin amat erat. Dari Habib Ahmad beliau banyak mendapat manfaat rohani
yang sulit untuk dibicarakan didalam tulisan yang serba singkat ini.Dalam
perjalan hidupnya Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas pernah dimasukan kedalam
penjara oleh Pemerintah Belanda, mungkin pengalaman ini telah digariskan Allah.
Sebab, Allah ingin memberi beliau kedudukan tinggi dan dekat dengannya. Nasib
buruk ini pernah juga dialami oleh Nabi Yusuf AS yang sempat mendekam dalam
penjara selama beberapa tahun. Namun, setelah keluar dari penjara ia diberi
kedudukan tinggi oleh penguasa Mashor yang telah memenjarakannya.
NASAB Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha bin Umar bin Thoha bin Umar ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- ImamMuhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein Rodiyallahu ‘Anhum
Nasab Beliau
Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha bin Umar bin Thoha bin Umar ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- ImamMuhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein Rodiyallahu ‘Anhum
Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha bin Umar bin Thoha bin Umar ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- ImamMuhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein Rodiyallahu ‘Anhum
Habib Abdurrahman lahir tahun 1908 di Cimanggu, Bogor. Beliau
adalah putra Habib Ahmad bin AbdulQadir Assegaf. Ayahandanya sudah wafat
ketika beliau masih kecil, tapi kondisi itu tidak menjadi halangan
baginya untuk giat belajar.
Pernah mengenyam pendidikan di Jami’at Al-Khair, Jakarta, masa kecilnya sangat memperihatinkan, sebagaimana diceritakan anaknya,Habib Ali bin Abdurrahman “Walid itu orang yang tidak mampu. Bahkan beliau pernah berkata, “Barangkali dari seluruh anak yatim, yang termiskin adalah saya. Waktu lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu, tapi saya tidak punya sandal apalagi sepatu”. Tidurnya pun di bangku sekolah. Tapi, kesulitan seperti itu tidak menyurutkannya untuk giat belajar.”
Pernah mengenyam pendidikan di Jami’at Al-Khair, Jakarta, masa kecilnya sangat memperihatinkan, sebagaimana diceritakan anaknya,Habib Ali bin Abdurrahman “Walid itu orang yang tidak mampu. Bahkan beliau pernah berkata, “Barangkali dari seluruh anak yatim, yang termiskin adalah saya. Waktu lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu, tapi saya tidak punya sandal apalagi sepatu”. Tidurnya pun di bangku sekolah. Tapi, kesulitan seperti itu tidak menyurutkannya untuk giat belajar.”
Ketika masih belajar di Jami’at Al-Khair, prestasinya sangat cemerlang.
Beliau selalu menempati peringkat pertama. Nilainya bagus, akhlaqnya
menjadi teladan teman-temannya. Untuk menuntut ilmu kepada seorang
ulama, beliau tak segan-segan melakukannya dengan bersusah payah
menempuh perjalanan puluhan kilometer. “Walid itu kalau berburu ilmu
sangat keras. Beliau sanggup berjalan berkilo-kilo meter untuk belajar
ke Habib Abdullah bin Muhsin Al-Aththas (Habib Empang Bogor).”
Selain Habib Empang, guru-guru Habib Abdurrahman yang lain adalah
Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad ( Mufti Johor, Malaysia ), Habib Alwi
bin Muhammad bin Thohir AlHaddad, Habib Ali bin Husein Al-Aththas (
Bungur, Jakarta ), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi ( Kwitang,
Jakarta ), K.H.Mahmud ( Ulama besar Betawi ) dan Prof.Abdullah bin Nuh (
Bogor ).
Semasa menunutut ilmu, Habib Abdurrahman sangat tekun dan rajin,
itulah sebabnya beliau mampu menyerap ilmu yang diajarkan guru-gurunya.
Ketekunannya yang luar biasa mengantarnya menguasai semua bidang ilmu
agama. Kemampuan berbahasa yang baguspun mengantarnya menjadi penulis
dan orator yang handal. Beliau tidak hanya sangat menguasai bahasa Arab,
tapi juga bahasa Sunda dan Jawa halus.
Habib Abdurrahman tidak sekadar disayang oleh para gurunya, tapi
lebih dari itu, beliau pun murid kebanggaan. Beliaulah satu-satunya
murid yang sangat menguasai tata bahasa Arab, ilmu alat yang memang
seharusnya digunakan untuk memahami kitab-kitab klasik yang lazim
disebut “kitab kuning”. Para gurunya menganjurkan murid-murid yang lain
mengacu pada pemahaman Habib Abdurrahman yang sangat tepat berdasarkan
pemahaman dari segi tata bahasa.
Setelah menginjak usia dewasa, Habib Abdurrahman dipercaya sebagai guru di madrasahnya. Disinilah bakat dan keinginannya untuk mengajar semakin menyala. Beliau menghabiskan waktunya untuk mengajar. Dan hebatnya, Habib Abdurrahman ternyata tidak hanya piawai dalam ilmu-ilmu agama, tapi bahkan juga pernah mengajar atau lebih tepatnya melatih bidang-bidang yang lain, seperti melatih kelompok musik ( dari seruling sampai terompet ), drum band, bahkan juga baris-berbaris.
Setelah menginjak usia dewasa, Habib Abdurrahman dipercaya sebagai guru di madrasahnya. Disinilah bakat dan keinginannya untuk mengajar semakin menyala. Beliau menghabiskan waktunya untuk mengajar. Dan hebatnya, Habib Abdurrahman ternyata tidak hanya piawai dalam ilmu-ilmu agama, tapi bahkan juga pernah mengajar atau lebih tepatnya melatih bidang-bidang yang lain, seperti melatih kelompok musik ( dari seruling sampai terompet ), drum band, bahkan juga baris-berbaris.
Belakangan, ketika berusia 20 tahun, beliau pindah ke Bukit Duri
dan berbekal pengalaman yang cukup panjang, beliaupun mendirikan
madrasah sendiri, Madrasah Tsaqafah Islamiyyah, yang hingga sekarang
masih eksis di Bukit Duri,Jakarta . Sebagai madrasah khusus, sampai kini
Tsaqafah Islamiyah tidak pernah merujuk kurikulum yang ditetapkan oleh
pemerintah, mereka menerapkan kurikulum sendiri dan uniknya, Madrasah
ini menggunakan buku-buku terbitan sendiri yang disusun oleh sang
pendiri, Habib Abdurrahman Assegaf.. Disini, siswa yang cerdas dan cepat
menguasai ilmu bisa loncat kelas.
Dunia pendidikan memang tak mungkin dipisahkan dari Habib
Abdurrahman, yang hampir seluruh masa hidupnya beliau baktikan untuk
pendidikan. Beliau memang seorangguru sejati. Selain pengalamannya
banyak, dan kreativitasnya dalam pendidikan juga luar biasa,
pergaulannya pun luas. terutama dengan para ulama dan kaum
pendidikJakarta.
Dalam keluarganya sendiri, Habib Abdurrahman dinilai oleh putra-putrinya sebagai sosok ayah yang konsisten dan disiplin dalam mendidik anak. Beliau selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk menguasai berbagai disiplin ilmu, dan menuntut ilmu kepada banyakguru. Sebab ilmu yang dimilikinya tidak dapat diwariskan.
Dalam keluarganya sendiri, Habib Abdurrahman dinilai oleh putra-putrinya sebagai sosok ayah yang konsisten dan disiplin dalam mendidik anak. Beliau selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk menguasai berbagai disiplin ilmu, dan menuntut ilmu kepada banyakguru. Sebab ilmu yang dimilikinya tidak dapat diwariskan.
“Beliau konsisten dan tegas dalam mendidik anak. Beliau juga
menekankan bahwa dirinya tidak mau meninggalkan harta sebagai warisan
untuk anak-anaknya. Beliau hanya mendorong anak-anaknya agar mencintai
ilmu dan mencintai dunia pendidikan. Beliau ingin kami konsisten
mengajar, karenanya beliau melarang kami melibatkan diri dengan urusan
politik maupun masalah keduniaan, seperti dagang, membuka biro haji dan
sebagainya. Jadi, sekalipun tidak besar, ya….sedikit banyak
putra-putrinya bisa mengajar,” kata Habib Umar merendah.
Habib Abdurrahman mempunyai putra dan putri 22 orang; diantaranya
Habib Muhammad, pemimpin pesantren di kawasan Ceger; Habib Ali, memimpin
Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah Tebet; Habib Alwi, memimpin Majlis
Taklim Zaadul Muslim di Bukit Duri; Habib Umar, memimpin pesantren dan
Majlis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukit Duri dan Habib Abu Bakar,
memimpin pesantren Al-Busyro di Citayam. Jumlah jamaah mereka ribuan
orang.
Sebagai Ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari Tauhid, Tafsir, Akhlaq, Fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu danSunda yang ditulis dengan huruf Arab- dikenal sebagai huruf Jawi atau pegon.
Sebagai Ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari Tauhid, Tafsir, Akhlaq, Fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu danSunda yang ditulis dengan huruf Arab- dikenal sebagai huruf Jawi atau pegon.
Kitab karyanya, antara lain, Hilyatul Janan fi Hadyil Qur’an,
Syafinatus Said, Misbahuz Zaman, Bunyatul Umahat dan Buah Delima.
Sayang, puluhan karya itu hanya dicetak dalam jumlah terbatas dan memang
hanya digunakan untuk kepentingan para santri dan siswa Madrasah
Tsaqafah Islamiyyah.
Habib Abdurrahman juga dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin,
sederhana dan ikhlas. Dalam hal apapun beliau selalu mementingkan
kesederhanaan. Dan kedisiplinannya tidak hanya dalam hal mengajar, tapi
juga dalam soal makan. “Walid tidak akan pernah makan sebelum waktunya.
Dimanapun ia selalu makan tepat waktu.” Kata Habib Ali.
Mengenai keikhlasan dan kedermawanannya, beliau selalu siap menolong siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Pada tahun 1960-an, Habib Abdurrahman mengalami kebutaan selama lima tahun. Namun musibah itu tak menyurutkan semangatnya dalam menegakkkan syiar islam. Pada masa-masa itulah beliau menciptakan rangkaian syair indah memuji kebesaran Allah swt dalam sebuah Tawasul, yang kemudian disebut Tawasul Al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Mengenai keikhlasan dan kedermawanannya, beliau selalu siap menolong siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Pada tahun 1960-an, Habib Abdurrahman mengalami kebutaan selama lima tahun. Namun musibah itu tak menyurutkan semangatnya dalam menegakkkan syiar islam. Pada masa-masa itulah beliau menciptakan rangkaian syair indah memuji kebesaran Allah swt dalam sebuah Tawasul, yang kemudian disebut Tawasul Al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Sebagai Ulama besar, Habib Abdurrahman juga dikenal memiliki
karomah. Misalnya, ketika beliau membuka Majlis Taklim Al-Buyro di
Parung Banteng Bogor sekitar tahun 1990, sebelumnya sangat sulit mencari
sumber air bersih di Parung Banteng Bogor. Ketika membuka majlis Taklim
itulah, Habib Abdurrahman bermunajat kepada Allah swt selama 40 hari 40
malam, mohon petunjuk lokasi sumber air. Pada hari ke 41, sumber belum
juga ditemukan. Maka Habib Abdurrahman pun meneruskan munajatnya.
Tak lama kemudian, entah darimana, datanglah seorang lelaki membawa
cangkul. Dan serta merta ia mencangkul tanah dekat rumah Habib
Abdurrahman. Setelah mencangkul, ia berlalu dan tanah bekas cangkulan
itu ditinggal, dibiarkan begitu saja. Dan, subhanallah, sebentar
kemudian dari tanah bekas cangkulan itu merembeslah air. Sampai kini
sumber air bersih itu dimanfaatkan oleh warga Parung Banteng, terutama
untuk keperluan Majelis Taklim Al-Busyro. Menurut penuturan Habib
Abdurrahman, lelaki pencangkul itu adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Wafatnya Habib Abdurrahman Assegaf
Suatu hari, seorang santri Darul Musthafa, Tarim Hadramaut, asal Indonesia, mendapat pesan dari seoranh ulama besar disana, Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi Syahab. “Saya mimpi bertemu Rasulullah SAW, tapi wajahnya menyerupai Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Tolong beritahu anak-anak beliau di Indonesia. Katakan, mulai saat ini, jangan jauh-jauh dari walid ( orang tua ).”
Suatu hari, seorang santri Darul Musthafa, Tarim Hadramaut, asal Indonesia, mendapat pesan dari seoranh ulama besar disana, Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi Syahab. “Saya mimpi bertemu Rasulullah SAW, tapi wajahnya menyerupai Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Tolong beritahu anak-anak beliau di Indonesia. Katakan, mulai saat ini, jangan jauh-jauh dari walid ( orang tua ).”
Sang santri itu langsung menelepon keluarganya di Indonesia. Hingga
akhirnya kabar dari ulama Hadramaut itu diterima keluarga Habib
Abdurrahman di Bukit Duri Jakarta. Seminggu kemudian, apa yang
diperkirakan itu pun tiba. Tepatnya Senin Siang jam 12.45, 26 Maret
2007, bertepatan dengan 7 rabiul Awal 1428 H, langit Jakarta seakan
mengelam. Kaum muslim ibu kota terguncang oleh berita wafatnya Al-Alamah
Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman Assegaf, dalam usia kurang lebih
100 tahun.
Jenazah ulama besar yang ilmu, akhlaq dan keistiqamahannya sangat
dikagumi itu, disemayamkan di ruang depan rumahnya yang bersahaja, tepat
di sisi Sekretariat Yayasan Madrasah Tsaqofah Islamiyah, di jln.
Perkutut no.273, Bukit Duri Puteran , Tebet, Jakarta Selatan. Kalimat
tahlil dan pembacaan Surat Yaa siin bergema sepanjang hari sampai
menjelang pemakamannya keesokan harinya. Sebuah tenda besar tak mampu
menampung gelombanh jemaah yang terus berdatangan bak air bah. Pihak
keluarga memutuskan pemakaman akan dilakukan ba’da zhuhur di pemakaman
Kampung Lolongok, tepatnya di belakang Kramat Empang.
Acara pelepasan jenazah dibuka dengan sambutan dari pihak keluarga, yang
diwakili Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. Dengan nada sendu, pengasuh
Majlis Taklim Al-Affaf itu mengucapkan terima kasih kepada para pecinta
Habib Abdurrahman Assegaf yang telah datang bertakziah dan membantu
proses pengurusan jenazah. Selanjutnya putra kedua Habib Abdurrahman
tersebut mengungkapkan keutamaan-keutamaan almarhum.”Beliau rindu kepada
Rasulullah SAW. Beliau ungkapkan rasa rindu itu lewat sholawat-sholawat
yang tak pernah lepas dari bibirnya setiap hari.” Katanya.
Puluhan ribu pelayat yang berdiri berdesak-desakan pun mulai sesunggukan karena terharu. Apalagi ketika Habib Ali, yang berbicara, tampil dengan suara bergetar.
Puluhan ribu pelayat yang berdiri berdesak-desakan pun mulai sesunggukan karena terharu. Apalagi ketika Habib Ali, yang berbicara, tampil dengan suara bergetar.
“hari ini, tidak seperti hari-hari yang lalu, kita berbicara tentang
bagaimana memelihara anak yatim. Tapi, kali ini, kita semua menjadi
anak-anak yatim.” Kata Habib Ali, yang mengibaratkan hadirin sebagai
anak yatim. Betapa tidak, Habib Abdurrahman dianggap sebagai orang tua
tidak hanya oleh keluarganya, tapi juga oleh jamaah. Semasa hidupnya,
beliau senantiasa mengayomi, membimbing dan setia mendengar keluh kesah
jamaah. Tapi kini, sang pelita itu telah pergi. Sebagian hadirin
terguguk menangis, bahkan ada yang histeris.
“Kepergian Walid sudah diramal jauh-jauh hari. Suatu hari beliau pernah
berkata kepada saya, “Umimu dulu yang bakal berpulang kepada Allah swt,
setelah itu baru saya. Dan benarlah, ibunda Hj.Barkah ( istri Walid )
berpulang sekitar tujuh bulan yang lalu, tepatnya pada 26 Juli 2006.
wali juga pernah berkata kepada keluarga, “Saya pulang pada hari senin,
kasih tahu saudara-saudaramu.”
Jam 12.00, jenazah disholatkan di depan kediaman Walid, dengan Imam,
Habib Abdul Qadir bin Muhammad Al-Haddad 9 Al-Hawi Condet ). Pada hari
itu juga, besan Habib Abdurrahman, Syarifah Rugayah binti Muhammad bin
Ali Al-Attas juga wafat. Pukul 13.00, iring-iringan jenazah mulai
bergerak menuju Empang Bogor, melalui jalan Tol Jagorawi. Ribuan
kendaraan mengiringi ambulance yang membawa jenazah.
Disaat mobil jenazah yang didihului dua mobil pengawal dari
kepolisian mendekati pintu makam pukul 16.15, konsentrasi massa yang
terpusat disitu luar biasa banyaknya. Suasana pun menjadi agak gaduh.
Maka setelah jenazah dikeluarkan dari mobil ambulance dan dibawa menuju
liang lahat sekitar 30 meter dari pintu masuk, suasana penuh kesedihan
sungguh sangat terasa. Banyak yang tak kuasa menahan tangis.
Segera setelah itu, jenazah dimasukkan ke liang lahat sambil terus diiringi dzikir yang tak henti dari para jemaah.
Mewakili Shohibul bait, Habib Hamid bin Abdullah al-Kaff, pengasuh pondok pesantren Al-Haramain Asy-Syarifain Pondok Ranggon Cipayung, memberikan tausiyah, “Sungguh kita bersama-sama telah kehilangan seorang ulama besar. Sungguh telah padam lampu yang sangat besar, yang menerangi kota Jakarta,” katanya.
Mewakili Shohibul bait, Habib Hamid bin Abdullah al-Kaff, pengasuh pondok pesantren Al-Haramain Asy-Syarifain Pondok Ranggon Cipayung, memberikan tausiyah, “Sungguh kita bersama-sama telah kehilangan seorang ulama besar. Sungguh telah padam lampu yang sangat besar, yang menerangi kota Jakarta,” katanya.
“Beruntunglah murid-muridnya yang telah menimba ilmu pada almarhum.
Ingatlah selalu pesan almarhum, saya sering mendengar pada acara haul,
kalau saya sudah meninggal dunia, perbanyaklah mengirimkan fatihah untuk
saya.’ Maka marila dalam pembacaan Fatihah-fatihah yang biasa kita
baca, kita kirim untuk almarhum.”
Langganan:
Postingan (Atom)